Dia juga mengungkapkan Dusun Kalindu, Desa Lariang masuk kawasan hutan lindung.
"Saya bisa pastikan bahwa kampung itu lebih dulu ada ketimbang undang-undang kehutanan. Saya bisa buktikan keberadaan dokumen almarhum orangtua saya Pepi Adriani menjadi asar bahwa keberadaan kampung itu lebih dulu ada," terangnya lagi.
Terkait kasus dugaan perambahan atau tanaman melewati izin HGU jelas Yani, berawal pihak perusahaan diduga melanggar dengan membuka lahan seluas-luasnya untuk ditanami dan dijadikan kebun, tanpa memiliki dasar izin di awal.
"Jadi dibuka dulu seluas-luasnya untuk dijadikan modal usaha. Sementara regulasi tidak demikian, harus izin dulu diterbitkan setelahnya perusahaan bisa beraktivitas dan membuka lahan.
"Pada akhirnya, setelah mereka mendapat izin dari pemerintah, ternyata lebih kecil dari luasan yang telah dibuka dan ditanami," jelas Yani yang mantan anggota DPRD Pasangkayu itu.
Penyebab hutan lindung overlap atau tumpang tindih dengan HGU, karena setelah dibuka lahan seluas-luasnya, pihak perusahaan sebut Yani, diduga menurunkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mengukur tanpa melalui proses pelepasan Kawasan hutan.
Sehingga, gambar ukur BPN lebih dahulu terbit dua tahun dari pelepasan kawasan hutannya.
"Gambar ukur ahun 1994, sedangkan elepasannya 1996. Terdapat prosedur salah dalam penerbitan HGU, yang mana seharusnya pelepasan Kawasan hutan dulu baru BPN turun mengukur," kata dia.
Soal sengketa agraria tumpang tindih masyarakat dengan HGU, disebabkan perusahaan tidak tahu mana HGU miliknya, sebab masyarakat kemudian masuk karena melihat lokasi kosong, dan menguasai lalu tanpa adanya keberatan pihsak perusahaan.
"Kesimpulan saya, perusahaan menelantarkan lahan yang diberikan untuk berusaha. Bukti penelantarannya keberadaan masyarakat, bangunan pemerintah dan sertifikat masyarakat di atas HGU," kata Yani.
Dia menduga masalah ini pemicunya berawal kemunculan peta digitalisasi tahun 2017. Saat itu terjadi peralihan peta manual ke peta digital. (*)